Romantisnya Jakarta (2) : Kota Tua Jakarta




"Bila tak tak ada sejarah maka tidak akan ada hari ini"

Nan jauh dipertemuan belahan bumi Timur dan Barat, sebuah peristiwa heroik berlangsung antara dua agama besar di Dunia. Perang Salib menurut saya lebih layak disebut perang dunia pertama karena pengaruhnya yang besar di benua Asia, Eropa dan Afrika. Pintu - pintu perdagangan dunia yang dulunya ramai, terpaksa ditutup karena peristiwa berdarah ini. 
Demi mempertahankan hidup, mulailah penjelajah Eropa mengibarkan layar perahu - perahu mereka ke belahan bumi timur, berharap menemukan surga eksotis yang membuat mereka menjadi kaya raya. Sejarah mencatat mereka berasal dari bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda.


Pelabuhan Kalapa telah ramai sejak abad ke - 16,
Dulu bisa ditempuh dari Dayo, ibukota kerajaan Pajajaran (Bogor)
melalui sungai Ciliwung selama 2 hari perjalanan
(Berdasarkan catatan Tome Pires tahun 1513)

Dari Sunda Kalapa menjadi Jayakarta

Sunda Kalapa di wilayah pesisir utara Jakarta merupakan wilayah yang strategis di dalam konstelasi perdagangan nusantara dan dunia. Wilayah Sunda Kalapa adalah milik kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan Pajajaran (Bogor). Ketika kerajaan Sunda mulai bekerja sama dengan Portugis, Kesultanan Cirebon-Demak dengan pimpinan Fatahillah berhasil merebut Sunda Kalapa (22 Juni 1527, tanggal ini diabadikan sebagai tanggal ulang tahun Jakarta). Namanya kemudian berganti menjadi Jayakarta (kemudian menjadi bagian wilayah kesultanan Banten). Wilayah Jayakarta ini kemudian ditaklukkan VOC (Serikat dagang Belanda tahun 1619). Setelah diklaim sebagai milik Belanda, orang - orang pendatang kulit putih tersebut menamainya : Batavia, ibukota tanah jajahan di Hindia Belanda. Sisa - sisa peradaban Batavia masih bisa kita temukan di Kota Tua.

Kota Batavia (1621 - 1942)

Ditangan Belanda, Batavia dijadikan sebagai representasi kota modern di Belanda. Kemiripan lanskap batavia dengan Belanda yaitu wilayah pesisir yang menghadap lautan dan muara bagi sungai - sungai besar, dibangun sedemikian rupa seperti rumah mereka di Belanda. Kanal - kanal dibuat untuk mencegah banjir sekaligus sarana transportasi perdagangan. Arsitektur bangunan - bangunan Eropa yang megah menghiasi kota.Orientasi bangunan dibuat menghadap ke arah sungai.



Batavia pada tahun 1627, masih terdapat kasteel di ujung pelabuhan








Perkembangan Batavia selanjutnya,
perluasan kota di bagian barat Kali Besar

Keberanian Belanda mengokohkan cengkeraman kekuasaan di nusantara tentu ada konsekuensinya. Penyerangan dasyat dipimpin Sultan Agung (1628) terjadi di Batavia. Kecemburuan terhadap Etnis Cina dengan keberhasilan mereka dalam bidang perdagangan, menyulut terjadinya Peristiwa Berdarah Angke (1740), terjadi juga di Batavia.

Lukisan tentang Penyerangan Sultan Agung ke Batavia 1628 - 1629
Kota ini sempat menjadi kota mati. Batavia dengan beban penduduk dan aktivitasnya yang kompleks akhirnya mengalami penurunan kualitas sanitasi. Selain itu tercemarnya air sungai di kanal oleh wabah menyebabkan meninggalnya banyak penduduk Batavia. Mereka lalu berbondong - bondong berpindah ke daerah lebih tinggi dan membangun permukiman baru yang disebut Kota Atas (Wilayah Veltevreden di Romantisnya Jakarta Bagian 1).

Batavia menjadi Kota Tua Jakarta

Setelah pemerintahan Indonesia mendapatkan kedaulatan untuk memerintah negaranya sendiri, penduduk Belanda dipaksa pulang ke negaranya. Gedung - gedung di Batavia berpindah tangan kepada rakyat Indonesia, sebagian dimiliki pemerintah sebagain menjadi milik swasta. Kawasan Batavia kemudian ditetapkan menjadi kawasan cagar budaya yang harus dilestarikan. Sayangnya, revitalisasi Kota Tua yang direncanakan sejak tahun 1970-an ini, prosesnya masih berlangsung lambat hingga saat ini karena terkendala birokrasi dan juga kesadaran dari masyarakat.

Kawasan Lapangan Fatahillah, dulu ada rel trem

Banyak hal yang bisa dipelajari di Kota Tua selain mengetahui sejarahnya. Kerusakan parah yang nyata terlihat adalah kerusakan ekologi. Sungai dan kanal yang berbau dan hitam itu dulunya adalah nadi kota Batavia. Sungguh menghawatirkan kondisinya saat ini. Upaya perbaikan ekologi sangat mendesak mengingat Jakarta adalah wilayah hilir yang mengantarkan air menuju laut.


Di luar dinding - dinding bangunan tua yang sebagian besar telah rapuh itu, ribuan manusia menggantungkan hidup. Para seniman bersinar karena pertunjukan mereka berada di setting yang luar biasa. Sedangkan kami pada hari itu berkesempatan belajar tentang jejak - jejak bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban yang sudah dibangun berabad - abad lalu. Bisakah warisan tersebut  menggugah kesadaran kita? Berkunjung ke Kota Tua merupakan pengalaman yang sangat berkesan, apa yang kita lihat belum tentu bisa ditemukan di buku - buku sejarah.
Pelabuhan sunda kelapa dari Menara Syahbandar
Panorama Jakarta dari Menara Shahbandar
Bersama dosen kami, Dr Nurhayati di Jembatan Kota Intan
Take the moment :P (di depan Stasiun Jakarta Kota)
Another moment :P di Museum Fatahillah/Sejarah Jakarta


Komentar

Postingan Populer