KAJIAN HISTORIS MORFOLOGI MASJID AGUNG JAMI’ KOTA MALANG (Bagian 3 -End)
Masjid Jami' Kota Malang
Masjid Jami’ kota Malang adalah masjid yang dikelola oleh Yayasan Masjid Jami’ dengan pengawasan dari Kotamadya Dati II Malang. Masjid ini terletak di Jalan Merdeka no.3 Kota Malang – Jawa Timur , di sebelah barat alun-alun kabupaten Malang.
Pengaruh Arsitektur Jawa terhadap Morfologi Masjid Agung Jami’ Malang
Dari halaman ke dalam masjid terdapat tangga lantai yang biasanya menandai batas suci. Antara halaman masjid dan jalan, masjid dikelilingi oleh pagar yang pintu masuknya terdapat tepat di tengah. Dengan demikian morfologi masjid jami’pada masa awal sesuai dengan deskripsi G.F. Pijper, yaitu memiliki enam karakter ciri masjid Jawa yaitu :
Masjid Jami’ kota Malang adalah masjid yang dikelola oleh Yayasan Masjid Jami’ dengan pengawasan dari Kotamadya Dati II Malang. Masjid ini terletak di Jalan Merdeka no.3 Kota Malang – Jawa Timur , di sebelah barat alun-alun kabupaten Malang.
Masjid Agung Jami’ Kota Malang tahun 2010 |
Lokasi Masjid Agung Jami’ Malang
Bangunan masjid ini menghadap ke Timur. Di utara bersebelahan dengan bangunan pertokoan dan Gereja Protestan, di bagian selatan bersebelahan dengan Bank Mandiri, di timur berbatasan dengan jalan Alun-alun, dan di sebelah barat berbatasan dengan permukiman penduduk. Masjid ini didirikan pada tahun 1875 M oleh seorang Bupati Malang yang tidak diketahui namanya. Masjid itu berdiri diatas tanah Goepernemen (Perponding/RVE/O) atau tanah desa seluas 3000m yang terletak di sebelah Barat Alun-alun kota Malang. Perancang dan arsitek yang membangunnya tidak diketahui jelas siapa namanya. Menurut prasasti yang ada, Masjid Agung Jami ini dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dibangun tahun 1875 sumber lain menyebutkan tahun 1890 sedangkan pembangunan tahap ke II dimulai tgl. 15 Maret 1903 dan dapat diselesaikan tgl. 13 Septemeber 1903 pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Suryohadiningrat.
Masjid ini dapat dicapai dari dua arah yaitu dari depan (alun-alun dan dari belakang (permukiman). Hirarki ruang yang menunjukkan tingkat kesakralan dimulai dari batas suci ditunjukkan dengan peil lantai bersusun yang sangat mencolok, dimana ketinggian lantai bangunan kurang lebih 105 cm dari muka tanah. Tempat lain yang juga memiliki tingkat kesakralan yang lebih terletak di bagian mihrab yang ditunjukkan dengan adanya peil lantai pula.
Bagian mihrab ini memiliki 3 ruang : ruang untuk sholat bupati dan memberi khutbah, ruang untuk imam,dan ruang untuk khotib. Hal ini didasarkan dari sejarah bahwa ruang untuk shalat Bupati yang digunakan pada jaman penjajahan belanda, karena pada saat itu Bupati dinggap orang yang kedudukannya tinggi dan dipandang sebagai pimpinan umat. Nilai ini kemudian bergeser yaitu bahwa imam harus berada di depan (lebih ke depan) dari jemaah lain termasuk bupati.
Masjid jami’ dalam perkembangannya kini telah semakin padat dengan bangunan sehingga halaman depan yang semula cukup luas kini menjadi relatif sempit karena dibatasi pagar. Adanya alun-alun sebagai ruang terbuka yang luas di depan masjid cukup memberi pengaruh untuk menggantikan visual halaman masjid yang hilang.
Pengaruh Arsitektur Jawa terhadap Morfologi Masjid Agung Jami’ Malang
Sebelum tahun 1900-an Malang masih merupakan kota kabupaten kecil yang terletak di pedalaman bagian dari karisidenan Pasuruan. Baru pada tanggal 1 April 1914 kota ini diberi status sebagai kotamadya (Gemeente). Sejak berstatus sebagai kotamadya secara cepat dan pasti Malang tumbuh menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur. Tidak hanya itu saja, malang juga terkenal sebagai kota yang indah dan terencana dengan baik sehingga sering dijuluki sebagai salah satu kota terindah di Hindia Belanda sebelum Perang Dunia II.
Pada abad 19 pusat kota Malang terletak di alun-alun. Menurut Handinoto, tata letak kota Jawa yang dibagi menjadi empat bagian. Sebelah selatan alun-alun merupakan daerah yang sakral dan daerah utara alun-alun merupakan daerah profan, oleh sebab itu rumah penguasa (Bupati) biasanya diletakkan di sebelah selatan dari alun-alun. Di malang, rumah bupati ada di sebelah timur alun-alun dan tidak berorientasi ke alun-alun tetapi menghadap ke selatan. Rumah Asisten residen terletak di sebelah selatan alun-alun dan orientasinya menghadap ke arah alun-alun. Jadi letaknya tidak berhadap-hadapan dengan kabupaten. Letak masjid ada di sebelah barat alun-alun di sebelah masjid terletak rumah-rumah pengurus masjid. Daerah tersebut biasanya dikenal dengan nama Kauman.
Situasi
alun-alun kota Malang dengan bangunan-bangunan di sekitarnya
Sumber : Handinoto dan Soehargo (1996)
Pemandangan deskripsi diatas dapat juga dilihat pada alun-alun kabupaten lainnya. Ditengah alun-alun terdapat pohon beringin. Di sebelah timur laut terletak penjara, di sebelah utara alun-alun terletak gereja. Tidak jauh dari bangunan gereja tersebut terdapat bangunan Societiet Concordia, suatu club yang hampir selalu terdapat di kota di Hindia Belanda. Dari gambaran alun-alun di atas terlihat bahwa tata letak bangunan di sekitar alu-alun sangat berbeda dengan tatanan bangunan tipologi alun-alun kota kabupaten pada umumnya (kecuali masjidnya yang terletak di sebelah Barat Alun-alun).
Bangunan Masjid Agung Jami’ Malang pada mulanya berada ditengah tengah tapak masjid yang sekarang, yaitu dari mihrab sampai dengan lebih kurang 1/3 – ½ dari luas Masjid utama sekarang. Karena jama’ah yang melaksanakan ibadah sholat semakin lama semakin bertambah dan ruang masjid Agung Jami sudah tidak mampu menampungnya, maka pada tahun 1903 Masjid diperluas ke arah depan ( jalan), yang sekarang merupakan bangunan Masjid utama. Tampilan masjid setelah perluasan tahun 1903 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Bangunan Masjid Agung Jami’ Malang pada mulanya berada ditengah tengah tapak masjid yang sekarang, yaitu dari mihrab sampai dengan lebih kurang 1/3 – ½ dari luas Masjid utama sekarang. Karena jama’ah yang melaksanakan ibadah sholat semakin lama semakin bertambah dan ruang masjid Agung Jami sudah tidak mampu menampungnya, maka pada tahun 1903 Masjid diperluas ke arah depan ( jalan), yang sekarang merupakan bangunan Masjid utama. Tampilan masjid setelah perluasan tahun 1903 dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Masjid
Jami tahun 1910 (kiri) dan 1930 (kanan)
Sayang sekali belum ditemukan data utuh yang menggambarkan keadaan masjid jami’ pada awal berdirinya. Namun dengan adanya 2 bangunan saling berdampingan pada masjid Jami’ saat ini mengundang interpretasi apakah bangunan depan merupakan transformasi dari ruang serambi yang dimiliki pada masjid kuno pada umumnya, yang kemudian serambi ini dinaungi atap tajug tumpang tiga di atasnya. Berdasar gambar masjid tahun 1910, bangunan muka masjid jami’ dihimpit dua menara yang dihias pelengkung berlapis dan beratap tajug melingkar.
Dibagian serambi dihias pelengkung melingkar lebar dan disangga kolom ganda. Di bagian depan masjid masih terdapat bangunan monument besar yang diperkirakan merupakan bangunan menara yang dibangun bersamaan dengan pembangunan masjid awal, jika hal ini benar maka morfologi masjid jami’ menyerupai morfologi masjid menara kudus dan masjid Demak yang dibangun pada abad 15-16.
Dibagian serambi dihias pelengkung melingkar lebar dan disangga kolom ganda. Di bagian depan masjid masih terdapat bangunan monument besar yang diperkirakan merupakan bangunan menara yang dibangun bersamaan dengan pembangunan masjid awal, jika hal ini benar maka morfologi masjid jami’ menyerupai morfologi masjid menara kudus dan masjid Demak yang dibangun pada abad 15-16.
Kemiripan
morfologi masjid jami’ dengan masjid Menara Kudus dan Masjid demak dilihat dari
posisi serambi dan menara di bagian kanan depan masjid
Sumber : handinoto
Dari halaman ke dalam masjid terdapat tangga lantai yang biasanya menandai batas suci. Antara halaman masjid dan jalan, masjid dikelilingi oleh pagar yang pintu masuknya terdapat tepat di tengah. Dengan demikian morfologi masjid jami’pada masa awal sesuai dengan deskripsi G.F. Pijper, yaitu memiliki enam karakter ciri masjid Jawa yaitu :
1) berdenah bujur sangkar (sebelum diperluas kearah timur tahun 1903),
2) lantainya langsung berada pada fundamen yang masif atau tidak memiliki kolong lantai sebagaimana rumah-rumah vernakular Indonesia atau tempat ibadah berukuran kecil seperti langgar (Jawa), tajug (Sunda), dan bale (Banten),
3) memiliki atap tumpang dua dan tiga tumpukan yang mengerucut ke satu titik di puncaknya,
4) mempunyai ruang tambahan pada sebelah barat atau barat laut untuk mihrab,
5) mempunyai beranda pada sebelah depan (timur) atau samping yang biasa disebut surambi atau siambi (Jawa)
6) memiliki ruang terbuka yang mengitari masjid yang dikelilingi pagar pembatas dengan satu pintu masuknya di bagian muka sebelah timur.
Bangunan masjid di bagian barat berdenah persegi, memiliki atap tajug bersusun dua dengan konstruksi baja dengan 4 pilar yang menyangganya. Penulis belum menemukan informasi tentang pemakaian struktur baja pada bangunan masjid akhir abad 19, karena pada umumnya atap bangunan masjid pada masa itu dibangun dengan material kayu dengan konstruksi atap tajug yang memakai saka guru.
Dari segi makna, bentuk tajuk yang bertingkat tiga pada bangunan timur memiliki konsep filosofi tentang kelahiran, kehidupan dan kematian manusia. Konsep semacam itu juga diterapkan dari bentuk kolomnya yang secara fisik terbagi atas tiga, yaitu kaki, badan, dan kepala. Bangunan utama Masjid Agung Jami Malang yang lama memiliki 4 buah tiang / kolom yang terbuat dari kayu jati yang melambangkan sifat yang dimiliki oleh An-Nabi SAW : Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Sedangkan pada bangunan timur terdapat 21 kolom / tiang yang bentuknya mirip dengan kolom yang asli yang menggambarkan sifat wajib bagi Allah yang berjumlah 20 dan sifat Jaiz Allah yang jumlahnya 1 (menurut penuturan takmir masjid jami').
Pengaruh Arsitektur Timur Tengah dan India terhadap Morfologi Masjid Agung Jami’ Malang
Serambi masjid yang semula terbuka kemudian ditutup dengan dibangun tembok pembatas yang tidak tinggi dengan bukaan yang terbentuk dari lengkungan setengah lingkaran yang ditopang oleh kolom-kolom kecil dan semakin rapat. Bangunan tambahan yang berfungsi sebagai pintu masuk setelah pintu pagar halaman. Dengan tampilan demikian semakin muncul kesan tertutup serta secara eksplisit menimbulkan kesan yang membatasi lingkungan masjid dengan lingkungan luar.
Bentuk tampilan fasade yang diaplikasikan terhadap masjid ini pada saat itu dapat dijumpai pada bangunan- bangunan masjid di timur tengah dan India dengan ciri khas dinding depan masjid yang tinggi dengan hiasan ornamen reliefnya dan busur/pelengkung ditopang dengan pilar yang sangat banyak, selain itu adanya kubah, menara/minaret yang memiliki balustrade dan menjulang tinggi.
Pengaruh Arsitektur Modern terhadap Morfologi Masjid Agung Jami’ Malang
Aspek Desain dan Latar Belakang Perkembangan Morfologi Masjid Jami’ Kota Malang
Pengaruh terbesar yang melatarbelakangi perubahan tampilan masjid Agung Jami’ Malang tidak bisa dilepaskan dari pihak-pihak yang terkait dan dekat dengan aktivitas di masjid ini yang kemudian memutuskan seperti apa desain masjid yang dianggap baik dan representatif. Tak bisa dinafikan bahwa pengalaman para ulama (pengurus yang turut membidani penyelenggaraan masjid dan berpengaruh dalam setiap kebijakan) ketika berpergian dan melihat gaya arsitektur di luar nusantara berkeinginan untuk menjadikan masjid yang dikelolanya memiliki keagungan dan kharisma yang sama seperti masjid yang pernah dilihatnya. Oleh karena itu elemen-elemen masjid seperti kubah dan ornamentasi masjid yang ada di luar nusantara ikut terbawa dan diaplikasikan ke bangunan masjid.
Selain itu perkembangan masjid Jami’ tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat malang, baik dari aspek kependudukan maupun aspek sosial budaya. Terutama pada awal hingga pertengahan abad 20 wilayah Indonesia terutama kota Malang mengalami beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi perkembangan kota ini :
1. Berubahnya status Malang dari bagian wilayah Pasuruan menjadi wilayah kotamadya yang diperintah oleh seorang walikota pada tahun 1914. Masjid jami’ pada saaat itu menjadi bangunan yang penting, diletakkan di bagian barat alun-alun, disekitar bangunan –bangunan pemerintahan yaitu kantor karisidenan (selatan alun-alun), kantor kabupaten (timur alun-alun), saat itu masjid dibangun dengan karakter lokal budaya Jawa.
2. Masuknya berbagai pengaruh arsitektur dari luar (arab dan India) terutama dibawa oleh orang-orang selepas naik haji atau berpergian ke tempat-tempat tersebut. Dengan melihat keindahan arsitektur masjid luar, maka muncul keinginan untuk menerapkan langgam timur tengah dan India di masjid-masjid Jawa.
3. Peristiwa kemerdekaan Indonesia membuka era keleluasaan untuk melakukan syiar Islam secara luas, dengan demikian fungsi masjid tidak lagi terbatas sebagai tempat shalat, tetapi mulai mengadopsi fungsi-fungsi lain berdampak pada perkembangan ruang masjid.
4. Pertumbuhan penduduk kota malang yang saaat pesat, menimbulkan konsekuensi kebutuhan ruang masjid yang luas ketika umat Islam melakukan sholat berjamaah.
5. Visi-misi masjid jami’ sebagai pusat ibadah, pusat kajian keilmuan, pusat budaya dan pelayanan sosial(balai pengobatan), maka masjid ini terus berusaha mewadahi fungsi-fungsi tersebut agat terwadahi.”Perkembangan masjid dari tahun ke tahun yang jelas disesuaikan dengan bertambahnya jamaah untuk melaksanakan sholat juga diharapkan tetap tidak merubah arsitektur lama dan tidak merubah dekorasi interior sehingga masjid ini tetap menjaga ”yoni” atau kewibawaan masjid ini (wawancara, mei 2010)
Kesimpulan
Bangunan masjid di bagian barat berdenah persegi, memiliki atap tajug bersusun dua dengan konstruksi baja dengan 4 pilar yang menyangganya. Penulis belum menemukan informasi tentang pemakaian struktur baja pada bangunan masjid akhir abad 19, karena pada umumnya atap bangunan masjid pada masa itu dibangun dengan material kayu dengan konstruksi atap tajug yang memakai saka guru.
Konstruksi Atap baja-kayu bangunan barat (kiri) dan
konstruksi kayu (soko guru) bangunan timur (kanan)
Sumber : dokumentasi pribadi (2010
|
Sedangkan bangunan di bagian timur adalah bangunan berdenah persegi yang lebih kecil dengan atap tajug bersusun tiga, meruncing pada satu titik, berhiaskan mustoko di bagian puncak dengan kurang lebih 20 kolom yang menyangga atap tajug bersusun tiga ini.
Konstruksi Tipe Masjid/Tajug
Sumber : Handinoto
|
Dari segi makna, bentuk tajuk yang bertingkat tiga pada bangunan timur memiliki konsep filosofi tentang kelahiran, kehidupan dan kematian manusia. Konsep semacam itu juga diterapkan dari bentuk kolomnya yang secara fisik terbagi atas tiga, yaitu kaki, badan, dan kepala. Bangunan utama Masjid Agung Jami Malang yang lama memiliki 4 buah tiang / kolom yang terbuat dari kayu jati yang melambangkan sifat yang dimiliki oleh An-Nabi SAW : Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah. Sedangkan pada bangunan timur terdapat 21 kolom / tiang yang bentuknya mirip dengan kolom yang asli yang menggambarkan sifat wajib bagi Allah yang berjumlah 20 dan sifat Jaiz Allah yang jumlahnya 1 (menurut penuturan takmir masjid jami').
Masjid Agung Jami’ kemudian mengalami perombakan yang sangat banyak pada bentuk fasadenya. Pilar-pilar yang memiliki lengkung lebar di serambi dihilangkan diganti deretan pilar kecil dengan lengkung yang lebih kecil, dinding bangunan depan ditinggikan hingga menutup setengah atap tajuk. Menara di depan dihilangkan. Selain itu, terdapat penambahan bangunan kotak yang menjorok ke depan di bagian serambi masjid dan diberi kubah di atasnya. Ketinggian kubah tersebut sedikit lebih rendah dari atap tajuk dan berdiri berdampingan dengan atap tajuk. Karena letaknya yang berada di depan maka kubah ini sedikit menutupi pandangan atap tajuk jika dilihat dari depan masjid.
Perubahan juga terjadi pada bentuk menara yang mengapit bangunan masjid, menara awal yang berbentuk bulat besar setinggi atap tajuk berubah lebih ramping dan lebih tinggi, memiliki dua susun balustrade ( balkon berpagar keliling) dengan hiasan kubah di atasnya. Gambar berikut menunjukkan banyaknya perubahan pada bagian serambi masjid serta ornamen-ornamen baru pada periode tersebut.
Perubahan juga terjadi pada bentuk menara yang mengapit bangunan masjid, menara awal yang berbentuk bulat besar setinggi atap tajuk berubah lebih ramping dan lebih tinggi, memiliki dua susun balustrade ( balkon berpagar keliling) dengan hiasan kubah di atasnya. Gambar berikut menunjukkan banyaknya perubahan pada bagian serambi masjid serta ornamen-ornamen baru pada periode tersebut.
Perbandingan masjid Jami’ tahun 1930 (kiri) dan tahun 1947 (kanan) menunjukkan perubahan masjid yang sangat besar pada tampilan fasadenya |
Serambi masjid yang semula terbuka kemudian ditutup dengan dibangun tembok pembatas yang tidak tinggi dengan bukaan yang terbentuk dari lengkungan setengah lingkaran yang ditopang oleh kolom-kolom kecil dan semakin rapat. Bangunan tambahan yang berfungsi sebagai pintu masuk setelah pintu pagar halaman. Dengan tampilan demikian semakin muncul kesan tertutup serta secara eksplisit menimbulkan kesan yang membatasi lingkungan masjid dengan lingkungan luar.
Bentuk tampilan fasade yang diaplikasikan terhadap masjid ini pada saat itu dapat dijumpai pada bangunan- bangunan masjid di timur tengah dan India dengan ciri khas dinding depan masjid yang tinggi dengan hiasan ornamen reliefnya dan busur/pelengkung ditopang dengan pilar yang sangat banyak, selain itu adanya kubah, menara/minaret yang memiliki balustrade dan menjulang tinggi.
Masjid – masjid di
wilayah timur tengah dan india(dari kanan atas ke kanan bawah : Masjid Qil’a-i-Kuhnā- India, Masjid Al-Ahzar-Mesir, Masjidil
Haram dan Masjid Qiblatain-Arab)
Pada tahun 1950 di Indonesia terjadi peristiwa bencana alam yaitu meletusnya gunung Agung di Bali sehingga mengakibatkan terjadinya gempa yang cukup besar dan menyebabkan kerusakan pada bagian masjid. Setelah peristiwa tersebut bagian serambi mengalami perubahan kembali, peil lantai ditinggikan, bangunan tambahan di serambi diubah detail relief dindingnya, ditambahkan lengkung/arch yang hampir meruncing di bagian depan sebagai gerbang masuk dan seluruh kubah diganti dengan kubah alumunium/logam yang dipesan dari kota Yogyakarta, pada periode ini juga dilakukan perluasan dengan dibangunnya tempat wudhu di bagian selatan masjid, ruang pertemuan serta ruang administrasi masjid di lantai atasnya.Dari gambar diatas dengan penambahan pelengkung(arch) yang berbeda yaitu lebih meruncing ke atas maka muncul adanya ketidakharmonisan irama dengan bentukan sebelumnya yang lebih membulat.
Masjid
Jami pada tahun 1940-an (kiri) dan tahun
1950 (kanan), terlihat perubahan kembali terhadap dinding fasade, kubah dan
balustrade menara
Denah dan
potongan Masjid Jami setelah perubahan tahun 1950
Sumber : Wiryoprawiro1986
Pada tahun 1984 masjid Jami’ diperluas kembali ke bagian utara dengan dibangunnya bangunan penunjang berlantai 4 termasuk 1 lantai semi basement untuk tempat wudhu wanita, tempat penitipan sepatu/sandal/tas, tempat KM/WC, ruang sholat dan kantor dan perpustakaan. Di belakang bangunan induk terdapat sebuah bangunan taman-kanak-kanak dan tempat KM/WC wanita.
Perbandingan
tampilan Masjid Jami pada tahun 1950 (kiri) dan tahun 1990 (kanan) Penambahan
bangunan penunjang di sisi utara masjid
Pengaruh Arsitektur Modern terhadap Morfologi Masjid Agung Jami’ Malang
Perubahan luasan masjid yang besar terjadi pada renovasi tahun 1997, yaitu penambahan 2 lantai sepanjang serambi selatan timur dan utara dan koridor yang menghubungkan masjid dengan 2 bangunan penunjang di selatan dan utara. Pilar-pilar besar berdiameter 60 dimunculkan di serambi atas. Gedung penunjang di bagian selatan yang yang berfungsi sebagai tempat shalat dibangun 3 lantai keatas setinggi gedung penunjang di bagian utara untuk menjaga kesimetrisan bangunan. Dinding bagian fasade ditinggikan berikut ketinggian 2 menaranya. Material kubah diganti dengan beton dan diolah sehingga menimbulkan tekstur geometris. Warna dinding dan ornamen keseluruhan bangunan disamakan (monokrom hijau) sehingga menciptakan kesatuan di seluruh bagian bangunan. Menara semakin ditinggikan hingga mencapai 41 meter, dengan tiga balustade berwarna putih, dipadukan dengan pola geometris yang senada dengan pola dinding fasade dan kubah.
Transformasi Morfologi Masjid Jami’ tahun 1910 - 1997
Untuk mengembalikan nuansa masjid jawa di dalam interior ruang shalat, warna kolom diruang shalat dikembalikan seperti warna aslinya. Pintu – pintu untuk lantai kedua dibuat dengan meniru bentuk pintu yang asli. Setelah renovasi ini tampilan luar morfologi masjid dengan pengaruh Jawa yang kental ini tidak terlihat lagi. Atap tajuk hanya dapat dilihat hanya dari arah selatan (Bank Mandiri) dan suasana masjid Jawa hanya dapat dirasakan ketika masuk ke dalam interior masjid.
Suasana
di dalam masjid
Suasana
serambi bawah dan serambi atas
Pengaruh terbesar yang melatarbelakangi perubahan tampilan masjid Agung Jami’ Malang tidak bisa dilepaskan dari pihak-pihak yang terkait dan dekat dengan aktivitas di masjid ini yang kemudian memutuskan seperti apa desain masjid yang dianggap baik dan representatif. Tak bisa dinafikan bahwa pengalaman para ulama (pengurus yang turut membidani penyelenggaraan masjid dan berpengaruh dalam setiap kebijakan) ketika berpergian dan melihat gaya arsitektur di luar nusantara berkeinginan untuk menjadikan masjid yang dikelolanya memiliki keagungan dan kharisma yang sama seperti masjid yang pernah dilihatnya. Oleh karena itu elemen-elemen masjid seperti kubah dan ornamentasi masjid yang ada di luar nusantara ikut terbawa dan diaplikasikan ke bangunan masjid.
Selain itu perkembangan masjid Jami’ tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat malang, baik dari aspek kependudukan maupun aspek sosial budaya. Terutama pada awal hingga pertengahan abad 20 wilayah Indonesia terutama kota Malang mengalami beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi perkembangan kota ini :
1. Berubahnya status Malang dari bagian wilayah Pasuruan menjadi wilayah kotamadya yang diperintah oleh seorang walikota pada tahun 1914. Masjid jami’ pada saaat itu menjadi bangunan yang penting, diletakkan di bagian barat alun-alun, disekitar bangunan –bangunan pemerintahan yaitu kantor karisidenan (selatan alun-alun), kantor kabupaten (timur alun-alun), saat itu masjid dibangun dengan karakter lokal budaya Jawa.
2. Masuknya berbagai pengaruh arsitektur dari luar (arab dan India) terutama dibawa oleh orang-orang selepas naik haji atau berpergian ke tempat-tempat tersebut. Dengan melihat keindahan arsitektur masjid luar, maka muncul keinginan untuk menerapkan langgam timur tengah dan India di masjid-masjid Jawa.
3. Peristiwa kemerdekaan Indonesia membuka era keleluasaan untuk melakukan syiar Islam secara luas, dengan demikian fungsi masjid tidak lagi terbatas sebagai tempat shalat, tetapi mulai mengadopsi fungsi-fungsi lain berdampak pada perkembangan ruang masjid.
4. Pertumbuhan penduduk kota malang yang saaat pesat, menimbulkan konsekuensi kebutuhan ruang masjid yang luas ketika umat Islam melakukan sholat berjamaah.
5. Visi-misi masjid jami’ sebagai pusat ibadah, pusat kajian keilmuan, pusat budaya dan pelayanan sosial(balai pengobatan), maka masjid ini terus berusaha mewadahi fungsi-fungsi tersebut agat terwadahi.”Perkembangan masjid dari tahun ke tahun yang jelas disesuaikan dengan bertambahnya jamaah untuk melaksanakan sholat juga diharapkan tetap tidak merubah arsitektur lama dan tidak merubah dekorasi interior sehingga masjid ini tetap menjaga ”yoni” atau kewibawaan masjid ini (wawancara, mei 2010)
Morfologi Masjid Agung Jami’ kota malang pada mulanya memiliki ciri-ciri yang dimiliki masjid jawa pada umumnya. Namun dalam perkembangannya, masjid ini mengalami beberapa perubahan dan transformasi morfologi. Dari segi arsitektur, masjid ini mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa, arsitektur Timur Tengah dan India, selain itu mendapat pengaruh arsitektur modern pula pada abad 20 akhir, hal ini selain dikarenakan keinginan para pemilik masjid untuk mengaplikasikan langgam arsitektur di luar nusantara, juga yang disebabkan karena faktor-faktor :
1. Faktor budaya yaitu perubahan dan penambahan elemen masjid yang berlanggam Arab/India yaitu penambahan kubah, peninggian menara, penambahan ornamen masjid, muncul portal di bagian serambi.
2. Faktor fungsi bangunan yaitu perluasan ruangan sholat dan penambahan fungsi-fungsi baru seperti pendidikan, kantor, kegiatan sosial-kesehatan dan syiar Islam.
3. Faktor pelestarian bangunan, banyak bagian bangunan asli yang telah hilang oleh karena itu pada perkembangan selanjutnya diadakan upaya untuk mengembalikan kesan ”masjid jawa ” disamping tetap melestarikan akulturasi budaya yang terjadi pada masjid ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Fanani. Achmad.2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta : BentangHandinoto dan Soehargo.1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang.Yogyakarta : Percetakan Andi.
Nas, Peter JM.2007 Masa Lalu dalam masa kini arsitektur di Indonesia(terjemahan). Jakarta : Gramedia
Rochym,Abdul.1983 . Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung : Angkasa.
Utaberta, nagkula. 2004. Konsep Arsitektur Islam dan perumahan islam dari Perspektif Sunnah. Simposium Nasional Arsitektur Islam 2004 Universitas Muhammadiyah Surakarta
Utaberta, nagkula. 2004. Studi tentang Pendekatan dan Penafsiran dalam Arsitektur Islam. Simposium Nasional Arsitektur Islam 2004 Universitas Muhammadiyah Surakarta
Syafe’i, Mahmud . Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam.Wiryoprawiro, Zein M, 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur
Skripsi :
Wibawa, Veby Surya. 2005. Skripsi : Museum Arsitektur Masjid Nusantara di Jogja. Universitas Brawijaya
Jurnal Ilmiah :
Handinoto Dan Samuel Hartono. Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-16. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35, No. 1, Juli 2007: 23 – 40
Iskandar. Tradisionalitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid. Dimensi teknik arsitektur vol. 32, no. 2, desember 2004: 110 – 118
Khairul, Antariksa, Agus Dwi Wicaksono. Perubahan Kawasan Bersejarah Benteng Dan Masjid Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Arsitektur E-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008
thanksss
BalasHapusSama - sama, semoga bermanfaat :)
HapusSalam kenal. Saya mohon ijin mengutip beberapa keterangannya untuk melengkapi artikel saya ya Mbak.
BalasHapusSilakan :)
Hapuskira kira kalau diwujudkan dalam sebuah karya busana apakah bisa?
BalasHapus