KAJIAN HISTORIS MORFOLOGI MASJID AGUNG JAMI’ KOTA MALANG ( Bagian 1)

PENDAHULUAN


Sejak 14 abad lalu ketika Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul Allah SWT untuk mendakwahkan Islam kepada seluruh umat manusia di dunia, kini Agama Islam telah berkembang dengan pesat dan membentuk sebuah kebudayaan yang khas di antara beradaban-peradaban manusia di dunia. 

Ketika kebudayaan Islam mulai menyusun bentuknya, seirama dengan itu sejumlah lambang mulai diposisikan, baik yang berasal dari bentuk pinjaman maupun orisinil. Bentuk-bentuk lengkung, kubah, menjadi bagian dari corak Islam, ketika Islam telah menjadi pewaris sah dari budaya agung : Byzantium, Mesir, Persia dan India. Mihrab yang berasal dari tradisi Koptik, minaret, kubah yang berasal dari Persia dan Byzantium, menyatu dengan lambang-lambang dekorasi floral, geometrik, kaligrafi dan muqarnas yang orisinal, menciptakan susunan kode kultural bagi arsitektur masjid , istana, turbah maupun tempat-tempat umum seperti pasar, pemondokan dalam skala ruang kota. Justru atribut sekunder kebudayaan Islam inilah, yang oleh momentum sejarah dalam konteks sosiokultural telah digubah secara fisik menjadi unsur yang sangat dominan posisinya di dalam memberi kesan kesatuan wilayah budaya Islam. (Arkoun ,1983)

Fanani (2009) menyatakan yang sangat luar biasa dari kebudayaan Islam adalah ketika dengan berani mengadopsi sejumlah atribut kebudayaan dari wilayah yang dikuasainya tanpa harus keluar dari esensi budayanya sendiri. Ekspedisi kaum muslimin dalam memperkenalkan Islam ke masyarakat yang lebih luas di luar kawasan sentralnya sejak selepas perjanjian Hudaibiah dan terutama setelah wilayah Syam (Damaskus), wilayah Qadisiyah (Persia), juga Fustat (Mesir) mulai ditembus, memberi pengalaman baru yang memperkaya penampilan arsitektur bangunannya. Hal ini menyiratkan betapa dalam persoalan akidah terdapat perbedaan yang nyata, namun dalam pergaulan budaya hubungan itu begitu lentur. Pinjam meminjam atau bahkan waris-mewarisi benda-benda fisik wujud kebudayaan antarkomunitas, sepanjang mampu diolah dengan tanpa mengganggu prinsip akidah telah diterapkan tanpa ragu oleh kaum muslimin. Dengan cara demikian itulah kaum muslimin telah menjadi pewaris kebudayaan agung serta mampu melahirkan corak fisik budaya arsitekturnya yang khas. 

Demikianan pula saat Islam mulai berkembang di wilayah nusantara, nilai-nilai Islam mulai bersentuhan dengan budaya setempat, menghasilkan corak arsitektur masjid yang berbeda dari sebelumnya. Seiring dengan perkembangan waktu, corak arsitektur masjid di nusantara mulai mengadopsi bentuk-bentuk baru, munculnya kubah dan menara-menara yang menjulang tinggi mulai menghiasi tampilan masjid. Saat itulah masyarakat mulai mengambil symbol baru untuk memperkuat karakter masjid sebagai arsitektur Islam.

Masjid sebagai salah satu kebudayaan Islam, Pangarsa dan Tjahjono dalam Wibawa (2005) mengungkapkan bahwa arsitektur masjid adalah sistem simbol yang menduduki peran penting karena selalu terkait dengan pesan-pesan dakwah atau syiar agama Islam. Melalui sistem simbol arsitektur masjid dapat diungkapkan kembali pengertian dan pemahaman agama islam pada masyarakat muslim di suatu zaman. Dengan demikian bahasa simbol dalam Islam sudah menjadi suatu kelumrahan karena simbol ini sekali lagi merupakan sebuah piranti untuk mengarahkan manusia untuk berIslam secara berakal dan kritis, tidak membabi buta (taqlid). 

Munculnya Ayat-ayat Al-Quran yang berusaha menyampaikan ajaran islam yang syarat akan bahasa symbol untuk mengarahkan pandangan akal, hati dan ilmunya untuk memahami eksistensi keberadaannya sebagai makhluk Pencipta. Herisatoto dalam Wibawa (2005) berpendapat bahwamanusia begitu eratnya symbol-simbol. Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Pendapat ini dihadirkan dengan diperkuat teori Ernst Cassier yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah melihat , menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai symbol.

Berbicara tentang symbol dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks seni dan budaya sebagai suatu media dakwah, karena melalui jembatan ini pesan-pesan Islam disampaikan dengan mempergunakan symbol-simbol atau perlambang. Begitupun dengan proses penyebaran islam di nusantara. Lambat laun budaya lokal di nusantara berakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Lingkungan binaan pun tidak lepas dari sentuhan seni dan budaya Islam yang berkembang. Pada saat itu lingkungan binaan sebagai karya arsitektural pada masa itu menjadisuatu alat rekam yang mendokumentasikan ketinggian nilai seni dan budaya local. Beberapa karya arsitektural yang bernafaskan Islam sebagai pengejawantahan karya seni dan budaya Islam dengan penerapan system symbol yang adiluhung masih dapat diamati sampai sekarang. Misalnya aplikasi symbol pada tektonika masjid bertiang 5, pemakaian balok vertical pada atap tumpang masjid hingga atap tumpang sebagai suatu platonic di huruf “aliflammim” masih terdapat pula aplikasi system symbol sebagai suatu politik budaya dapt dilihat dari penerapan ajaran Islam pada peninggalan arsitektur pada kota-kota yang berperan penting dalam perkembangan awal agama Islam, seperti Demak, Banten dan kota pewaris budaya Mataram Islam,Jogya.

Arsitektur Islam adalah hasil perancangan ruang dan system binaan yang berasaskan pada corak hidup umat islam yang berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar Islam sebagaiman yang terdaapt dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Salah satu masalah dalam arsitektur Islam adalah terletak pada proses bagaimana kerangka intelektual dalam memahami apa yang dipahami sebagai arsitektur Islam. Masalah yang mendasar dari proses berfikir dan kerangka intelektual tadi terletak pada pendekatan yang dipakai. Pendekatan yang umumnya dilakukan oleh banyak orang ketika berbicara tentang arsitektur islam adalah pendekatan yang berorientasi kepada obyek atau pendekatan yang melihat produk dari suatu peradaban atau masyarakat Islam sebagai suatu produk yang Islami Pendekatan yang berorientasi kepada obyek mengidentikkan Arsitektur Islam dengan bangunan dan elemen fisik dari masjid seperti kubah, menara, muqarnas, kubah,Iwan,masyrabiya,kaligrafi dsb. 

Bangunan yang biasanya menjadi lambang arsitektur Islam sejati adalah masjid –masjid besar. Hal ini merupakan hal yang biasa terjadi karena sebagai manusia kita terbisa dengan hal yang berwujud kongkrit dan nyata, namun ia menjadi sebuah masalah ketika bentuk-bentuk tersebut diadopsi dan dijadikan bentuk-bentuk standar tanpa melalui sebuah wacana dan diskusi intelektual yang cukup tentang situasi dan kondisi di balik lahirnya bentuk tersebut. Bentuk-bentuk yang melambangkan Arsitektur Islam tadi lebih merupakan pembentuk image dan symbol-simbol yang membawa misi tersendiri. 

Adalah hal yang salah bila mendefinisikan arsitektur Islam yang melihat produk dari masyarakat ketika itu tanpa melihat hakikat dasar dari ajaran islam itu sendiri Itulah sebabnya mereka melihat zaman ketka rasulullah dan Khulafaur Rasyidin sebagai suatu jaman buta arsitektur karena sederhananya bangunan ketika itu . Padahal hakikat dasar dari arsitektur adalah produk dari kondisi dan situasi , apapun bentuk arsitektur dari suatu masa dan tempat mencerminkan tatanan nilai pada masyarakat saat itu (utaberta,2004)

Sayangnya upaya penggalian dan pemaknaan terhadap hasil kebudayaan Islam khususnya di Nusantara berupa karya-karya arsitektur masjid kuno kurang begitu mendapat perhatian. Menurut Wibawa (2005) hal ini akan berdampak pada semakin hilangnya ciri masjid –masjid yang memiliki nilai historis dalam masa persebaran Islam di Indonesia. Padahal dalam arsitektur masjid tersebut dapat terlihat nilai-nilai simbol sebagai eksistensi kebudayaan Islam yang mempengaruhinya dan pesan yang hendak disampaikan melaui karya arsitektur yang dihasilkan.

Fenomena serupa juga terjadi pada arsitektur masjid Agung Jami’ Kota Malang, setidaknya selama kurun waktu 135 tahun sejak berdirinya yaitu tahun 1875, masjid ini telah mengalami beberapa kali transformasi bentuk dan perluasan bangunan. Berangkat dari fenomena tersebut, penulis bermaksud melakukan kajian untuk mendeskripsikan perkembangan morfologi masjid Agung Jami’ dan menganalisis latar belakang perubahan yang terjadi pada masjid tersebut. 

Kajian sebelumnya tentang Arsitektur Masjid Agung Jami’ Malang juga pernah dilakukan yaitu terdapat pada sebuah buku yang ditulis oleh Wiryoprawiro (1986) berjudul Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Masjid Agung Jami’ Malang dipakai sebagai salah satu obyek arsitektur masjid di Jawa Timur yang berdiri pada jaman penjajahan. Namun demikian pada buku tersebut fokus pembahasan adalah arsitektur masjid Agung Jami’ pada tahun 1986 yaitu setelah mengalami perkembangan morfologi kesekian kalinya. 

Topik tentang morfologi masjid Agung Jami’ Kota Malang ini berbeda dari sebelumnya karena akan mencoba membahas secara menyeluruh perubahan morfologi masjid sejak awal berdirinya hingga keadaan saat ini ditinjau aspek desain masjid meliputi latar belakang serta pengaruh yang mendasari keputusan desain terhadap perubahan tersebut. Penulis berharap kajian ini bermanfaat dalam memberikan informasi tentang arsitektur masjid Agung Jami’ kota Malang. Selain itu penulis berharap berkontribusi dalam memberikan saran maupun rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi suatu alernatif bagi perencanaan masjid pada umumnya. Secara implisit, paparan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada pihak pengelola Masjid dan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Malang terkait tentang kondisi masjid Agung jami’ masa kini.
  

MASJID

 
Kata masjid berasal dari bahasa arab sujudan-sajada-masjidu. Secara etimologis ”masjid” diambil dari kata dasar” sujud” yang berarti taat, patuh, tunduk dengan penuh rasa hormat dan takzim. Mengingat akar katanya bermakna tunduk dan patuh , maka hakikat masjid itu adalah tempat melakukan segala aktivitas (tidak hanya shalat) sebagai manifestasi dari ketaatan kepada Allah semata. Sedangkan secara terminologis dalam hukum islam (fiqih) sujud itu berarti adalah meletakkan dahi berikut ujung hidung (tulang T), kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung kaki ke tanah yang merupakan salah satu rukun shalat. Sujud dalam pengertian ini merupakan bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna etimologis di atas. Itulah sebabnya , tempat khusus penyelenggaraan shalat disebut dengan masjid. Dari pengertian sujud secara terminologis ini , maka masjid dapat didefinisikan sebagai “ suatu bangunan, gedung atau suatu lingkungan yang memiliki batas yang jelas (benteng/pagar)yang didirikan secara khusus sebagai tempat ibadah umat islam kepada Allah SWT, khususnya untuk menunaikan shalat.”(Syafe’i : Masjid dalam Perspektif Sejarah dan Hukum Islam).

Namun masjid jika dimaknai hanya sebagai tempat shalat tidaklah benar karena Allah menciptakan seluruh alam semesta ini sebagai masjid (tempat sujud). Rasulullah pernah bersabda dalam hadist riwayat Muslim : Dimana saja engkau berada, jika waktu shalat tiba, maka shalatlah, karena di situlah masjid, dan hadist riwayat Bukhari : Seluruh semesta ini telah dijadikan bagiku masjid (tempat sujud).

Masjid adalah tempat muslim berkumpul dan bertemu masyarakat Muslim secara luas, selain untuk shalat lima waktu dan shalat Jum’at, masjid pada masa Rasulullah juga merupakan tempat untuk menerangkan hukum-hukum Islam dan tempat untuk mengumumkan hal-hal penting yang menyangkut hidup masyarakat Muslim. Segala urusan kehidupan masyarakat muslim juga berpangkal di masjid dan berujung di masjid. Urusan dilakukan di dalam masjid adalah mengenai kemakmuran dan kesejahteraan kesatuan sosial Muslim di sekitar masjid, kedamaian hidup bersam , kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat dan bukan urusan yang menyangkut kepantingan pribadi (Gazalba,1975).

Rekonstruksi Masjid Rasulullah
dengan berbagai aktivitas sosial dan semangat ke- Islamannya
Sumber : Suharjanto (Ulasan keterkaitan tipologi dengan fungsi dan Bentuknya,
studi kasus bangunan masjid)

MORFOLOGI MASJID


Kata morfologi banyak digunakan dalam beberapa bidang keilmuan, yaitu bagian dari ilmu yang mengacu pada pembahasan tentang bentuk, fungsi dan makna, dengan demikian morfologi masjid menjelaskan tentang bentuk, fungsi dan makna suatu masjid.
Bentuk masjid awal sebagaimana menurut sejarah adalah sebuah bangunan sederhana berlantaikan tanah, dinding terbuat dari tanah yang dikeringkan, tiangnya dari batang kurma dan atapnya dari pelepah dan daunnya. Denah masjid pada kondisi awal relatif berbentuk bujur sangkar yang kemudian menjadi panutan bagi dibangunnya masjid-masjid sejenis.

Tipe Umum Denah Masjid
Sumber : Ross, Leslie, 1956–
Art and architecture of the world’s religions
Unsur universal yang mempengaruhi bentuk masjid bermula dari fungsi sebuah masjid hadir untuk menampung keperluan ibadah shalat berjamaah. Dengan demikian tentulah beberapa diantara unsur universal tersebut perlu memenuhi tuntutan syarat rukun penyelenggaraan ibadah shalat jamaah tersebut. Arah kiblat dan posisi imam serta makmum adalah pokok utama yang harus dipenuhi. Unsur lain seperti tempat wudhu, minaret, mimbar adalah kelengkapan sekunder saja dan bukan yang harus diadakan. Apabila kubah, kaligrafi, muqarnas, maksura semuanya tidak ada dalam tampilan arsitektur masjid, tidak akan berpengaruh terhadap syarat sah atau tidaknya shalat berjamaah. Kedudukan hukumnya lebih ringan lagi, di posisi mubah : boleh ada tanpa ada keharusan. Ekspedisi kaum muslimin ke Jazairah Arab, Persia, Afrika utara, India, Cina bahkan Asia tenggara untuk memperkenalkan Islam ke masyarakat yang lebih luas di luar kawasan sentralnya memberi pengalaman baru yang memperkaya penampilan arsitektur bangunannya. Nilai-nilai Islam mulai bersentuhan dengan budaya setempat, menghasilkan corak arsitektur masjid yang berbeda dari sebelumnya. Seiring dengan perkembangan tersebut corak arsitektur masjid mulai mengadopsi bentuk-bentuk baru, munculnya kubah dan menara-menara yang menjulang tinggi mulai menghiasi tampilan masjid. Masing-masing menunjukkan karakter wilayah masing-masing.

Beberapa tipo-morfologi masjid di beberapa negara (kiri-kanan : Mesir, Mali -Afrika,Cina)
Sumber : Malise Ruthven with Azim Nanji-
Historical Atlas of The Islamic World (2004)

Dengan cara pandang arsitektur, masjid dimanapun dan kapanpun didirikan selalu hadir dan dapat diamati setidaknya dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi aktifitas-fungsi, sedangkan dimensi kedua adalah dimensi sosial budaya( Ischak,2004). Dimensi aktifitas-fungsi berarti menempatkan bangunan masjid sebagai wadah dari kegiatan shalat, khususnya shalat berjamaah baik yang dilakukan secara rutin 5 kali sehari atau sholat Jumat yang dilakukan secara berjamaah seminggu sekali. Sholat merupakan aktifitas ritual religius yang spesifik sehingga membutuhkan ruang dan wadah secara fisik dan spesifik pula. Sementara sebagai satu rangkaian prosesi ritual tersebut , tidak terlepas dari kegiatan lain seperti mengambil wudhu, i’tikaf dan lainnya yang juga membutuhkan ruang.

Dimensi yang pertama ini dapat dipahami bahwa suatu bangunan yang disebut masjid dimanapun selalu menghadirkan jenis maupun macam ruang-ruang yang relatif sama. Bahkan program ruang yang terbentuk untuk mewadahi aktifitas yang ada bisa sangat sederhana misalnya hanya terdiri dari ruang imam (mihrab) dan ruang jamaah (makmum) yang disebut liwan. Perbedaan macam dan jumlah ruang dalam satu masjid dengan masjid lainnya lebih banyak diakibatkan munculnya kegiatan yang pada akhirnya membutuhkan ruang , dimana bentuk kegiatan tersebut bisa sangat berbeda antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lainnya.

Dengan cara pandang tersebut organisasi ruang masjid dapt berbeda antara satu dengan lainnya. Tetapi secara umum, ruang-ruang yang hampir selalu ada pada setiap bangunan masjid menyangkut ruang shalat, mihrab, pawestren,serambi dan ruang wudhu. (Ischak,2004)

Beberapa tipolgi masjid di seluruh dunia
Elemen arsitektur Islam yang biasa dipopulerkan pleh sejarahwan ketika berbicara tentang arsitektur islam adalah penggunaan gerbang tajam, gerbang bawang, gerbang sepatu kuda, kubah bawang, kubah tajam, mushrabiya, dan mukarnas.

Mashrabiya (tabir) adalah elemen arsitektural yang ada kaitannya dengan pemisahan ruang untuk privasi terutama pemisahan ruang laki-laki dan perempuan. Masyrabiya memperbolehkan kaum wanita melihat keluar namun menghalangi pandangan lelaki ke dalam rumah. Ia biasanya terbuat dari kayu bercorak segiempat atau poligon bintang.

Pada hakikatnya, kecuali pada mushrabiya belum ada bukti yang jelas apa kaitan semua elemen bangunan ini dengan cara hidup Islam. Tiada jawaban yang pasti misalnya untuk menerangkan mengapa kubah bentuk bawang wujud sebagai sebuah ekspresi dari pola hidup islam. Pada hakikatnya pembinaan kubah dan gerbang adalah ciri pembinaan yang menggunakan batu bata dan tanah liat atau lumpur. Teknologi rentang panjang yang diwarisi oleh Islam adalah teknologi warisan romawi yang memang terkenal akan kepandaiannya mengukir batu dan menghasilkan bentuk gerbang dan kubah. Tanah lumpur yang biasa digunakan di timur Tengah dan di negara Afrika hanya bisa merentang ruang jika ia dibentuk seperti gerbang dan kubah. Oleh karena sifat bahan tersebut yang memerlikan bentuk demikian maka sukarlah untuk ia diterima dan dipakai sebagai bahasa universal Arsitektur Islam.

Pada arsitektur Islam nusantara, masjid tidak menggunakan kubah atau gerbang karena kayu merentang panjang dengan cara struktur rangka,kuda-kuda atau portal. Itulah sebabnya Arsitektur Islam di nusantara tidak menggunakan kubah atau gerbang karena kayu mampu merentang panjang dengan cara struktur rangka, kuda-kuda atau portal. Itulah sebabnya arsitektur Islam di nusantara lebih banyak menggunakan atap bertingkat (tajug).

Masjid tidak terlepas dari ornamen yang menjadi ciri kas masjid tersebut. Ornamen adalah suatu bentuk hasil karya yang menghiasi bangunan atau sebagai pelengkap dan penyempurnaan dari sebuah karya arsitektur Utaberta(2004). Ciri utama ornamen islam adalah tidak digunakannya bentuk hewan atau makhluk hidup, hal ini didasarkan pada hadist Nabi muhamaad perilah pelarangan terhadap pembuatan patung dan melukis benda-benda hidup. Larangan ini memberi inspirasi kepada para seniman Islam untuk menggubah corak yang tidak memiliki konotasi pada bentuk-bentuk tersebut. Terdapat tiga jenis ornamen utama di dalam arsitektur Islam : tulisan kaligrafi, corak tumbuh-tumbuhan/bunga dan bentuk geometris/poligon yang berulang.
ornamen masjid

bersambung....

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer